Loading...

085749607473 Jual Peci Kopiah Songkok BASYAR, ABDUN DAN KHALIFAH




BASYAR, ABDUN DAN KHALIFAH
  1. I.BASYAR
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya nampak jelas, dan berbeda dengan kulit makhluk yang lain.
Dengan demikian istilah basyar merupakan gambaran insan secara materi yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian ini disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 35 kali dalam banyak sekali surat 25 kali diantaranya berbicara perihal “kemanusiaan” para rasul dan nabi, 13 ayat di antaranya menggambarkan polemik para rasul dan nabi dengan orang-orang kafir yang isinya keengganan mereka terhadap apa yang dibawa oleh para nabi dan rasul, alasannya yaitu menurut mereka nabi dan rasul yaitu insan biasa menyerupai mereka.Diantaranya terdapat dalam surat al-Abiya’: 2-3, al-kahfi: 110, Ibrahim: 10, hud: 26, al-Mukminun: 24 dan 33, as-Syu’ara’: 93, yasin: 15, Al-Isra: 93 dan lain-lain. Dalam ayat-ayat tersebut terlihat bahwa insan dalam arti basyar yaitu insan dengan sifat-sifat kematerianya.
al-basyar dapat diklasifikasikan menjadi 6 bagian, yaitu:
  1. Menggambarkan Dimensi Fisik Manusia
Ada satu ayat yang menyebutkan basyar dalam pengertian kulit manusia, yaitu (Neraka Saqar) akan memperabukan kulit manusia/lawwahah li al-basyar (lihat Quran Surat 74: 27-29)
  1. Menyatakan Seorang Nabi yaitu Basyar
Ada 23 ayat yang menyatakan bahwa kata basyar dipakai oleh Quran yang bekerjasama dengan dengan Nabi dan kenabian, dan 12 diantaranya menyatakan bahwa seorang nabi yaitu basyar, yaitu secara lahiriah mempunyai ciri yang sama yaitu makan dan minum dari materi yang sama. Antara lain dinyatakan, bahwa para pemuka orang-orang yang kafir dan mendustakan akan menemui hari akhirat: Orang ini tidak lain hanyalah insan menyerupai kamu/basyar mitslukum Lihat Quran Surat 23: 33-34. Lihat juga 14: 10-11, 18: 110, 21: 3, 23: 24, 26: 154 & 186, 36: 15, 41: 6 dan 11: 27.
Basyar mitslukum di atas ditafsirkan oleh al-Naisaburi sebagai Adami atau anak keturunan Adam yang tidak punya kelebihan apapun atas anak Adam (manusia) lainnya. Namun ayat ini terperinci hanyalah klaim orang-orang kafir.
  1. Menyatakan perihal kenabian
Ayat yang menyatakan kata basyar dipakai oleh Quran dalam kaitannya dengan kenabian sebanyak 11 buah, antara lain: Tidak wajar bagi seorang insan (basyar) yang Yang Mahakuasa berikan kepadanya al-Kitab, nasihat dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: “Hendaklah kau menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah” (Alquran Surat 3: 79. Lihat juga 6: 91, 42: 51, 74: 31, 12: 31, 17: 93-94, 23: 34, dan 54: 24). al-Thabathaba’i (1972: 275) menafsirkan, tidak patut bagi seorang insan (dalam hal ini Nabi) yang diberikan Tuhan karunia yang berlimpah, lalu memproklamirkan dirinya semoga disembah, hanya karena ia diberikan al-Kitab, nasihat dan kenabian.
  1. Menunjukkan Persentuhan Laki-laki dan Perempuan
Ada 2 ayat yang menyebutkan kata basyar dalam kaitannya dengan per-sentuhan antara laki-laki dan perempuan. Maryam berkata: “Bagaimana mung-kin akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang insan (wa lam yamsasni basyar) pun menyentuhku, dan akan bukan pula seorang pezina” (lihat Quran Surat 19: 20, lihat juga 3: 47).
Lam yamsasni basyar, ditafsirkan oleh al-Naisaburi dengan tidak pernah seorang suami pun mendekatiku, wa lam saya baghiyya, bukan pula seorang lacur (mendekatiku), dan saya sendiri bukan seorang pezina. Seorang anak tidak mungkin ada kecuali dari (hubungan) suami isteri atau berzina (al-Naisaburi, 1994: 180).
  1. Menggambarkan Manusia pada umumnya
Alquran yang menggunakan kata basyar dalam pengertian insan pada umumnya sebanyak 5 ayat, antara lain: “Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia” (In hadza illa qawl al-basyar (Alquran Surat 74: 25, lihat juga 19: 17, 74: 36, 19: 26).
Kebanyakan mufassir tidak mengomentari lagi ayat ini karena sudah sangat terperinci kandungannya, namun al-Sayuthi dan al-Mahalli sedikit menawarkan penjelasan bahwa ini merupakan rekaman perkataan orang-orang kafir dimana mereka mengatakan bekerjsama Quran itu hanya pemikiran yang disampaikan oleh insan biasa (al-Sayuthi dan al-Mahalli, t.t.: 480).
Sementara al-Maraghi (t.t. Jilid X: 1333) menambahkan, bahwa orang-orang kafir mengatakan Quran itu hanya dikutip dari perkataan orang lain (ma-nusia biasa) saja, bukan kalam Yang Mahakuasa sebagaimana dakwaannya (Muhammad).
  1. Menyatakan proses penciptaan dari tanah
Yang menyatakan arti basyar sebagai proses penciptaan insan dari tanah ada 4 ayat, antara lain: Di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan kau dari tanah, kemudian tiba-tiba kau (menjadi) insan yang berkem-bang biak/basyar tantasyirun (Alquran Surat 30: 29. Lihat juga 38: 71, dan 15: 28).
Dia menciptakan kau dari tanah, dimaksud yaitu basyar (manusia), kemudian menjadi insan yang terdiri dari daging dan darah yaitu keturunannya yang tersebar di permukaan bumi (al-Naisaburi, 1994: 431)
  1. Menunjukkan insan akan menemui kematian
Alquran yang membuktikan kata basyar dalam pengertian semua insan akan menemui kematian hanya 1 ayat, yaitu: Kami tidak menjadikan hidup infinit bagi seorang insan pun sebelum kau (wa ma ja’alna li basyar min qablik al-khuld), maka jikalau kau (Muhammad) mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati … (Alquran Surat 21: 34-35).
Pengertian basyar, tidak lain yaitu insan dalam kehidupannya sehari-hari, yang bekerjasama dengan acara lahiriah, yang tentunya dipengaruhi dan menerima dorongan kodrat alamiahnnya, menyerupai makanan, minuman, bersetubuh dan kesannya mati mengakhiri kegiatannya. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sesuatu yang bekerjasama dengan lahiriah, dimana kegunaannya untuk melanggengkan keberadaan tubuh/diri insan itu sendiri.
Oleh karenanya, melalui acara basyariahnya, yaitu acara tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran insan dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya dan cipta manusia, yang menempati ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, menyerupai lukisan, tari-tarian dan kegiatan mengolah besi pada industri logam maupun menggali pertambangan atau membuat bangunan.
Kalau dihubungkan dengan pemakaian kata insan, maka basyar terperinci menunjukkan konteks yang berbeda, meskipun sama-sama menunjukkan pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan, yaitu insan yang arif yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sementara kata basyar menun-jukkan insan sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material menyerupai yang tampak pada acara fisiknya (Asy’ari, 1992: 34)
Kata insan dan basyar yang dipakai dalam Quran untuk sebutan manusia, bukan berarti menunjukkan adanya dua jenis manusia, akan tetapi kata insan dan ba-syar pada dasarnya menunjuk pada insan yang tunggal dengan bi-dimensionalnya (dua dimensi), dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada ka-pasitas tindakannya.
Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, kedua sisi gagasan – pemikiran dan kesadaran – dan tindakan hampir tidak bisa dipisahkan, dan jikalau karena sesuatu hal gagasan dan tindakan itu dipisahkan, maka terlihat insan berada dalam konflik kepribadian. Kepribadian yang berada dalam konflik tersebut, seringkali disebut langsung yang tak seimbang atau berkepribadian ganda, sehingga menjadikan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sia-sia.
  1. II.                ‘Abdun / Hamba
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Kedudukan insan yang paling utama yaitu sebagai Abdullah yang artinya sebagai Hamba Allah. Oleh karena itu, sebagai hamba Yang Mahakuasa maka insan harus menuruti kemauan Allah, yang tidak boleh membangkan kepada-Nya. Dalam hal ini, insan mempunyai dua peran yaitu: pertama ia harus beribadah kepada Yang Mahakuasa baik dalam pengertian sempit (sholat, puasa, haji, dsb.) maupun luas (melaksanakan semua aktifitas baik dalam relasi dengan secara vertikal kepada Yang Mahakuasa SWT maupun bermuamalah dengan sesama insan untuk memperoleh keridoan Yang Mahakuasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan Yang Mahakuasa SWT dan Hadist).
  1. Manusia sebagai Makhluk
Keberadaan insan di alam semesta ini bukan karena sendirinya, akan tetapi karena rancangan, disain, proses penciptaan dari Yang Mahakuasa swt. Keberadaan insan sebagai hasil ciptaan Yang Mahakuasa swt, menyadarkan akan hakekat makhluk yang lemah, bodoh, dan fakir.
  1. Makhluk termulia (Al-Israa’:70)
Dan bekerjsama telah Kami muliakan bawah umur Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang tepat atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. 17:70)
  1. Makhluk yang paling mengagumkan bentuk kejadiannya.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. 95:4).
  1. Makhluk yang diberikan kebebasan memilih dan bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.
“…dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Yang Mahakuasa mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, bekerjsama beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan bekerjsama merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91:7-10)
  1. Makhluk yang diberi kemampuan untuk menerima ilmu pengetahuan dan dibekali dengan alat-alat yang mendukungnya dalam meraih iptek itu: “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan,  Dia telah menciptakan insan dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah,” (QS. 96:1-3).
  2. Manusia Dimuliakan dan Diberikan Potensi
  3. Fitrah
Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain, menyerupai “penciptaan” dan “kejadian”. Dalam al-Qur’an kata ini dalam banyak sekali bentuknya terulang sebanyak 28 kali, 14 kali diantaranya dalam konteks uraian perihal bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan insan baik dari sisi akreditasi bahwa penciptanya yaitu Allah, maupun dari segi uraian perihal fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada QS ar-Rum: 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Yang Mahakuasa yang telah menciptakan insan menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui,” ( Ar-Rum:30)
Merujuk kepada fitrah yang dikemukukan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa insan semenjak asal kejadianya, membawa potensi beragama secara lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti “tidak”, maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri insan untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikanya.
Tetapi apakah fitrah insan hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan perihal penciptaan potensi mausia – walaupun tidak menggunakan kata fitrah menyerupai dalam QS Ali Imran [3]: 14.
Oleh karena itu, kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya perihal QS ar-Rum [30]: 30, sangat tepat untuk dijadikan rujukan. Beliau menyatakan: “fitrah yaitu bentuk dan system yang diwujudkan Yang Mahakuasa pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan insan yaitu apa yang diciptakan Yang Mahakuasa pada insan yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya)”.
  1. Nafs
Kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai banyak makna, sekali diartikan sebagai totalitas insan (QS al-Maidah [5]: 32), yang lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri insan yang menghasilkan tingkah laku (QS ar-Ra’d [13]: 11), dan kata nafs juga digunakan untuk menunjuk kepda “diri Tuhan” (kalau istilah ini dapat diterima), menyerupai dalam QS al-An’am [6]: 12.
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam kontek pembicaraan perihal insan , menunjuk kepada sisi dalam insan yang berpotensi baik dan buruk.
  1. Qalb
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena sering kali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali baiklah dan sekali menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Hal ini menyerupai terlihat dalam beragam ayat, yaitu: kalbu yaitu wadah dari pengajaran (QS Qaf [50}: 37), Wadah dari kasih sayang (QS al-Hadid [57]: 27), wadah dari rasa takut (QS Ali Imran [3]: 151), dan wadah keimanan (QS al-Hujurat [49]: 7).
Dalam keadaanya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya (QS al-Hijr [15]: 47, Al-Hujurat [49]: 14). Bahkan al-Qur’an menggambarkan bahwa ada kalbu yang disegel: “Allah telah mengunci mati hati mereka” (QS al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jikalau al-Qur’an menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup kalbu (QS Muhammad [47]: 7). Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta olah jiwa (QS al-Hujurat [49]: 3, Al-Insyirah [94]: 1), dan dipersempit dengan kesesatan dan kemaksiatan (QS al-An’am [6]: 125).
  1. Ruh
Berbicara perihal ruh, al-Qur’an mengingatkan kita dengan firman-Nya: Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kau pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kau sedikit sekali bersyukur. (As-Sajadah : 9)
  1. ‘Aql
Kata ‘aql (akal) tidak ditemukan dalam al-Qur’an, yang ada yaitu bentuk kata kerja – masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur’an menggunakanya bagi “sesuatau yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Apakah seseutu itu? Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
Pertama, daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu (QS al-‘Ankabut [29]: 43. daya insan dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan al-Qur’an antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara perihal kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang dan ali-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Yang Mahakuasa swt bagi “orang-orang berakal” (QS al-Baqarah [2]: 164) dan ada juga bagi ulil Albab yang juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan. Keanekaragaman kebijaksanaan dalam konteks menarik makna dan meyimpulkanya terlihat juga dari penggunaan istilah –istilah semacam nazara, tafakur, tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.
Kedua, dorongan moral (QS Al-‘An’am [6]: 151).
Ketiga, daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta “Hikmah”. Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya ini di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berfikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya logika yang kuat, dan boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang berpengaruh , tidak memiliki dorongan moral. Tetepi seseorang yang memilki rusyd, maka dia telah menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata: “Seandainya kami mendengar dan arif maka kami pasti tidak termasuk penghuni neraka (QS al-Mulku [67]: 10).
  1. Manusia dibebani Tanggung Jawab
Keberadaan insan di alam semesta ini dan diberikan potensi oleh Yang Mahakuasa bukan tanpa tanggung jawab. Tetapi insan dengan segala potensi yang dimilkinya untuk menuaikan satu misi hidup yang terperinci dan terarah. Misi tersebut yaitu menunaikan peran ibadah dan khilafah.
Tanggungjawab Abdullah terhadap dirinya yaitu memelihara iktikad yang dimiliki dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadist Nabi SAW dikatakan yazidu wayanqusu (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).
  1. Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iktikad dari neraka).
  2. Allah dengan ajaranNya Al-Qur’an menurut sunah rosul, memerintahkan hambaNya atau Abdullah untuk berlaku adil dan ikhsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Yang Mahakuasa adlah menegakkan keadilanl, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan pemikiran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kenungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa melakukan solat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (Fakhsyaa’iwalmunkar). Hamba-hamba Yang Mahakuasa sebagai adegan dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba Yang Mahakuasa yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap pemikiran Yang Mahakuasa menurut Sunnah Rasul
  3. Manusia diberikan Pilihan Hidup
Walaupun insan diberikan satu tanggung jawab untuk menunaikan peran dan misi kehidupan di alam semesta ini, tetapi Yang Mahakuasa masih menawarkan pilihan bagi manusia. Pilihan tersebut berupa kepatuhan kepada misi awal penciptaan insan atau ketidakpatuhan terhadapnya.
  1. Manusia diberikan Balasan
Pilihan hidup yang dipilih oleh insan akan menjadi tannggung jawabnya sendiri. Tanggung Jawab ini berakibat pada jawaban berupa surga atau neraka. Bagi mereka yang tetap patuh pada misi penciptaan awal manusia, akan menerima jawaban berupa surga, dan sebaliknya bagi mereka yang tidak patuh juga menerima balasannya berupa neraka.
  1. III.             Khalifah
Kata berasal dari kata “khalf” (menggantikan, mengganti), atau kata “khalaf” (orang yang datang kemudian) sebagai lawan dari kata “salaf” (orang yang terdahulu). Sedangkan arti khilafah yaitu menggantikan yang lain, adakalanya karena tidak adanya (tidak hadirnya) orang yang diganti, atau karena kematian orang yang diganti, atau karena kelemahan/tidak berfungsinya yang diganti, misalnya Abu Bakar ditunjuk oleh umat Islam sebagai khalifah penggan¬ti Nabi SAW, yakni penerus dari perjuangan dia dan pemimpin umat yang menggantikan Nabi SAW. setelah dia wafat, atau Umar bin Khattab sebagai pengganti dari Abu Bakar dan seterusnya; dan adakalanya karena memuliakan (memberi penghargaan) atau mengangkat kedudukan orang yang dijadikan pengganti. Pengertian terakhir inilah yang dimak¬sud dengan “Allah mengangkat insan sebagai khalifah di muka bumi”, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. Fathir ayat 39, Q.S. al-An’am ayat 165.
Manusia yaitu makhluk yang termulia di antara makh¬luk-makhluk yang lain (Q.S. al-Isra’: 70) dan ia dijadikan oleh Yang Mahakuasa dalam sebaik-baik bentuk/kejadian, baik fisik maupun psikhisnya (Q.S. al-Tin: 5), serta dilengkapi dengan banyak sekali alat potensial dan potensi-potensi dasar (fitrah) yang dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses pendidikan. Karena itulah maka sudah selayaknya insan menyandang peran sebagai khalifah Yang Mahakuasa di muka bumi.
Tugas insan sebagai khalifah Yang Mahakuasa di muka bumi antara lain menyangkut peran mewujudkan kemakmuran di muka bumi (Q.S. Hud : 61), serta mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di muka bumi (Q.S. al-Maidah : 16), dengan cara beriman dan bersedekah saleh (Q.S. al-Ra’d : 29), bekerja-sama dalam menegakkan kebenaran dan bekerjasama dalam mene¬gakkan kesabaran (Q.S. al-’Ashr : 1-3). Karena itu peran kekhalifahan merupakan peran suci dan amanah dari Yang Mahakuasa semenjak insan pertama hingga insan pada kiamat yang akan datang, dan merupakan perwujudan dari pelaksanaan pengabdian kepadaNya (’abdullah).
Tugas-tugas kekhalifahan tersebut menyangkut: peran kekhalifahan terhadap diri sendiri; peran kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga; peran kekhalifahan dalam masyarakat; dan peran kekhalifahan terhadap alam.
Tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi tugas-tugas: (1)  menuntut ilmu pengetahuan (Q.S.al-Nahl: 43), karena insan itu yaitu makhluk yang dapat dan harus dididik/diajar (Q.S. al-Baqarah: 31) dan yang bisa mendi¬dik/mengajar (Q.S. Ali Imran: 187, al-An’am: 51); (2) menjaga dan memelihara diri dari segala sesuatu yang bisa menjadikan ancaman dan kesengsaraan (Q.S. al-Tahrim: 6) termasuk di dalamnya yaitu menjaga dan memelihara kesehatan fisiknya, memakan makanan yang halal dan sebagainya; dan (3) menghiasi diri dengan moral yang mulia. Kata akhlaq berasal dari kata khuluq atau khalq. Khuluq merupakan bentuk batin/rohani, dan khalq merupakan bentuk lahir/ jasmani. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dan insan terdiri atas gabungan dari keduanya itu yakni jasmani (lahir) dan rohani (batin). Jasmani tanpa rohani yaitu benda mati, dan rohani tanpa jasmani yaitu malaikat. Karena itu orang yang tidak menghiasi diri dengan moral yang mulia sama halnya dengan jasmani tanpa rohani atau disebut jenazah (bangkai), yang tidak saja membusukkan dirinya, bahkan juga membusukkan atau merusak lingkungannya.
Tugas kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga meliputi peran membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera atau keluarga sakinah dan mawaddah wa rahmah/cinta kasih (Q.S. ar-Rum: 21) dengan jalan menyadari akan hak dan kewajibannya sebagai suami-isteri atau ayah-ibu dalam rumah tangga.
Tugas kekhalifahan dalam masyarakat meliputi tugas-tugas : (1) mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Q.S. al-Hujurat: 10 dan 13, al-Anfal: 46); (2) tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan (Q.S. al-Maidah: 2); (3) menegakkan keadilan dalam masyarakat (Q.S. al-Nisa’: 135); (4) bertanggung jawab terhadap amar ma^ruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran: 104 dan 110); dan (5) berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk di dalamnya yaitu para fakir dan miskin serta anak yatim (Q.S. al-Taubah: 60, al-Nisa’: 2), orang yang cacat badan (Q.S. ’Abasa: 1-11), orang yang berada di bawah penguasaan orang lain dan lain-lain.
Sedangkan peran kekhalifahan terhadap alam (natur) meliputi tugas-tugas: (1) mengkulturkan natur (membudaya¬kan alam), yakni alam yang tersedia ini semoga dibudayakan, sehingga menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia; (2) menaturkan kultur (mengalam¬kan budaya), yakni budaya atau hasil karya insan harus diadaptasi dengan kondisi alam, jangan hingga merusak alam atau lingkungan hidup, semoga tidak menjadikan malapetaka bagi insan dan lingkungannya; dan (3) mengIslamkan kultur (mengIslamkan budaya), yakni dalam berbudaya harus tetap janji dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-’alamin, sehingga berbudaya berarti mengerahkan segala tenaga, cipta, rasa dan karsa, serta bakat insan untuk mencari dan mene-mukan kebenaran pemikiran Islam atau kebenaran ayat-ayat serta keagungan dan kebesaran Ilahi.
Dari banyak sekali uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa insan sebagai makhluk Yang Mahakuasa harus bisa mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi. Manusia sebagai makhluk Yang Mahakuasa mempunyai dua peran utama, yaitu: (1)  sebagai ’abdullah, yakni hamba Yang Mahakuasa yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan KehendakNya serta mengabdi hanya kepadaNya; dan (2) sebagai khalifah Yang Mahakuasa di muka bumi, yang meliputi pelaksanaan peran kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga/rumah tangga, dalam masyarakat, dan peran kekhalifahan terhadap alam.
PENUTUP
Konsep insan sebagai basyar, abdun dan khalifah Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur’an dipakai untuk insan yang tunggal, sama menyerupai ins. Sedangkan untuk jamaaknya dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran kebijaksanaan sehat [Musa Asy’arie, 1992 : 22]. Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada insan dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain yaitu akhir perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan [M.Quraish Shihab, 1996 : 280].
Kata insan jikalau dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila insan lupa terhadap seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Maka dalam kehidupan agama, jikalau seseorang lupa sesuatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap sesuatu kewajiban.
Sedangkan kata insan untuk penyebutan insan yang terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak dan harmonis, (Musa Asy’arie, 1996 : 20) karena insan pada dasarnya dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mempunyai kemampuan pembiasaan yang cukup tinggi, untuk dapat mengikuti keadaan dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun alamiah.
Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian insan sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan. Firman allah [QS.al-Rum (3) : 20] “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan kau dari tanah, saat kau menjadi basyar kau bertebaran”. Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akhir relasi seks atau bertebaran mencari rezki [M.Quraish Shihab,1996 : 279].
Penggunaan kata basyar di sini “dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya bisa memikul tanggungjawab. Dan karena itupula, peran kekhalifahan dibebankan kepada basyar [perhatikan QS al-Hijr (15) : 28], yang menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah (2) : 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Yang Mahakuasa kepada malaikat perihal insan [M.Quraish Shihab,1996 : 280]. Musa Asy’arie [1996 : 21], mengatakan bahwa insan dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan insan dalam pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut insan mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok insan pada umumnya, makan, minum dan mati.
Dari pengertian insan dan basyar, insan merupakan makhluk yang dibekali Yang Mahakuasa dengan potensi fisik maupun psihis yang memiliki potensi untuk berkembang. Al-Qur’an berulangkali mengangkat derajat insan dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Yang Mahakuasa juga menetapkan bahwa insan dijadikan-Nya sebagai makhluk yang paling tepat keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain [Q.S.95 :4]. Yang Mahakuasa sendirilah yang menciptakan insan yang proporsional [adil] susunannya [Q.S.82:7].

lainnya 3085863251140019373

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts