085749607473 Jual Peci Kopiah Songkok MANUSIA = basyar, ins, insan, naas, anam
http://steinprent.blogspot.com/2016/02/085749607473-jual-peci-kopiah-songkok_18.html
MANUSIA = basyar, ins, insan, naas, anam
Bismillahirrahmanirrahim
Bismillahirrahmanirrahim
Al-Qur’an diturunkan sebagai rahmat dan hidayah bagi umat manusia. Sudah barang tentu ia tidak akan lalai menggambarkan dan menjelaskan jatidiri insan yang sebenarnya, biar mereka mengerti dan tidak keliru bersikap. Sungguh, kesalahan-kesalahan terbesar yang menimpa banyak sekali fatwa dan filsafat seringkali berawal dari kesalahan definisi atau cara pandang terhadap jatidiri insan ini.
Definisi “manusia” sendiri telah menjadi obyek perdebatan klasik dalam khazanah fatwa umat manusia. Mungkin, pertanyaan perihal “siapa aku” sudah setua kehadiran insan itu sendiri, dan banyak sekali balasan telah begitu banyak diberikan. Terkadang, satu sama lain saling bertentangan secara diametral dan tak terjembatani.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana Al-Qur’an mendefinisikan “manusia”?
Sesuai dengan tradisi Islam, sebagaimana dijelaskan Profesor Naquib Al-Attas dalam The Concept of Education in Islam, bekerjsama ada dua cara untuk memformulasikan sebuah definisi, yaitu hadd ( الحد ) dan rasm ( الرسم ). Yang pertama berarti spesifikasi yang sempurna atau ringkas tentang karakteristik khas dari sesuatu hal, sedangkan yang terakhir berarti deskripsi sifat dari sesuatu hal. Menurut beliau, perbedaan ini menyampaikan bahwa ada hal-hal yang dapat kita definisikan secara khusus mengenai bagaimana tepatnya dan karakteristiknya yang khas, dan ada pula hal-hal yang mana kita tidak bisa terlalu memastikannya, namun kita hanya dapat memastikan dengan menggambarkan sifat-sifatnya.
Walaupun sebagian pemikir muslim merumuskan hadd manusia dalam kalimat al-hayawan an-nathiq (hewan yang berpikir), namun – dengan melihat cara Al-Qur’an mendefinisikan insan – definisi ini belum mencakup keseluruhan karakternya. Dalam hal ini, Al-Qur’an menggunakan rasm dengan menggambarkan sifat-sifat “manusia”, salah satunya dengan memakai istilah berbeda untuk menyebut mereka, yaitu: basy`r, ins, insan, naas, dan anam. Masing-masing istilah ini menunjuk kepada kualitas dan entitas tertentu dalam diri mereka. Mari kita kaji satu persatu.
Pertama, basyar ( البشر ). Disebutkan dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, bahwa istilah ini berasal dari kata dasar basyarah ( البشرة ), artinya episode permukaan kulit, sedangkan adamah
( الأدمة ) yaitu episode dalamnya. Manusia disebut dengan basyar karena kulit mereka lebih banyak terlihat di permukaan tubuhnya dibanding rambut, berbeda dengan hewan yang umumnya lebih banyak ditutupi bulu, rambut, dan wool. Dari kata dasar yang bermakna “kulit” ini pula muncul istilah mubasyarah ( المباشرة ), artinya persentuhan kulit dengan kulit secara langsung, dan bangsa Arab memakainya sebagai kiasan dari kekerabatan suami istri. Kabar bangga juga disebut dengan bisyarah ( البشارة ) dan busyra ( البشرى ), karena dikala seseorang bergembira maka darah menyebar ke seluruh kulitnya sehingga tampak faktual perubahannya, terutama pada wajah. Dengan demikian, dikala insan disebut basyar dalam bahasa Arab, yang dimaksud yaitu entitas fisik yang makan, minum, berjalan di pasar, beranak-pinak, berubah dari kecil menjadi dewasa, dan kesudahannya mati. Basyar adalah insan secara biologis dan fisiologis; sebagai materi di alam raya ini. Ini pula inti gugatan kaum kafir kepada para Nabi yang dikirim kepada mereka, karena secara fisik mereka yaitu basyar, makhluk berbadan wadak ibarat umatnya. Hanya saja, mereka mendapatkan wahyu dari Allah, dan inilah yang membuat mereka berbeda dari insan lainnya. Kata basyar muncul 35 kali di dalam Al-Qur’an.
Kedua, ins ( الإنس ). Menurut Dr. ‘Aisyah ‘Abdurrahman Bintu Syathi’ dalam Maqal Fil Insan, kata ini selalu mucul beriringan dengan kata jinn ( الجن ) di dalam Al-Qur’an, sebagai dua istilah yang saling berlawanan; dan jumlahnya ada 18 tempat. Secara bahasa, ins berarti jinak, akrab, ramah, menyenangkan; dan kesan ini berkebalikan dengan istilah jinn yang artinya “tertutup” atau “tersembunyi”, sehingga menyebabkan kesan liar, misterius, menakutkan. Kata ins juga merupakan lawan dari nufur ( النفور ), yakni lari menjauh. Bagian dari seekor hewan yang menjadi daerah paling mudah ditunggangi, yakni punggung, disebut dengan insiyyu ( إنسي ); demikian pula episode belakang busur yang menghadap ke pemanah. Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa insan disebut dengan ins karena mereka tidak bisa hidup tanpa saling dekat dan membantu satu sama lain; atau karena insan cenderung dekat dengan segala sesuatu yang biasa dilakukannya. Jadi, istilah ins ini merujuk kepada aksara umum jenis insan yang saling membantu, akrab, dan ramah. Manusia sebagai ins adalah “makhluk sosial” yang cenderung tinggal di keramaian, membentuk keluarga dan kelompok, bekerjasama, dst. Inilah fitrah insan yang telah Yang Mahakuasa tanamkan, berkebalikan dengan bangsa jin yang suka tempat-tempat sunyi, penyendiri, dan cenderung jahat. Jika kita membandingkan sifat-sifat alami insan dengan sifat-sifat asasi jin – misalnya, yang dijelaskan Al-Qur’an dalam surah al-Jinn – maka kita akan memahami seberapa besar perbedaan diantara kedua makhluk ini, meskipun ada titik-titik persamaan diantara mereka.
Ketiga, insan ( الإنسان ). Analisis yang dilakukan Bintu Syathi’ terhadap penggunaan istilah ini di 65 daerah dalam Al-Qur’an menyampaikan bahwa – secara bahasa – insan memang memiliki akar yang sama dengan ins, namun apa yang ditunjuk olehnya bukan lagi aksara umum ibarat sudah disebutkan diatas. Dalam Al-Qur’an, kata insan selalu bermakna kenaikan menuju tingkatan yang membuatnya cakap menjadi khalifah di muka bumi, serta sanggup memikul konsekuensi taklif dan amanah kemanusiaan. Sebab, ia telah diistimewakan dengan ilmu, bayan, akal, dan tamyiz (kemampuan memilah). Kenyataan ini disertai dengan aneka rintangan yang pasti menghadangnya berupa ujian baik maupun buruk, fitnah lalai karena merasa berpengaruh dan mampu, ditambah perasaan sebagai makhluk yang menempati posisi tertinggi di alam semesta sehingga bisa menyeretnya menuju kesombongan dan ujub. Perasaan inilah yang seringkali menjerumuskan insan (insan) dan membuatnya lupa bahwa ia pada dasarnya makhluk yang lemah, yang sedang menempuh kehidupan dunia dari alam tak dikenal menuju alam gaib. Dengan kata lain, dikala disebut sebagai insan, maka yang dimaksud yaitu kualitas-kualitas spesifik dan istimewa dalam diri insan yang membuatnya layak mendapatkan kekhilafahan, taklif, dan dilebihkan diatas malaikat. Pendeknya, insan sebagai insan yaitu makhluk yang secara sengaja didesain untuk merasakan pahala dan siksa, dikarenakan telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk menanggung taklif.
Keempat, naas ( الناس ). Dijelaskan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kata ini berasal dari nawasa ( نوس ), artinya bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, bimbang. Aslinya yaitu anas ( أناس ), lalu diringankan menjadi naas ( الناس ). Di dalam Al-Qur’an, istilah naas biasanya disebut secara tersendiri, atau menjadi kebalikan dari jinnah (bangsa jin), misalnya dalam surah an-Naas. Salah seorang raja Yaman ada yang digelari Dzu Nuwas, karena memiliki dua kepang/kuncir rambut yang bergerak-gerak di pundaknya, atau di punggungnya. Ranting pohon yang kecil dan mudah bergerak ditiup angin disebut dengan yanus ( ينوس ), dan bangsa Arab menyebut seseorang yang tidak bisa tenang/diam sebagai nawwas ( نواس ). Banyak istilah-istilah lain yang berakar dari sini dan seluruhnya mengandung makna tidak tetap atau terus bergerak, ibarat nuwwas (sesuatu yang digantung di langit-langit), nuwas (bekas jaring laba-laba yang telah lama ditinggalkan), nuwasi (setandan anggur yang panjang), dll. Menurut Bintu Syathi’, kata naas muncul sekitar 240 kali dalam Al-Qur’an, dan biasanya dipakai untuk menyebut spesies makhluk berjulukan “manusia” secara umum. Tampaknya, dikala insan disebut dengan naas, yang ditunjuk yaitu kecenderungan mereka untuk terus berubah, bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, atau berkembang dan dinamis. Mungkin, ini pula yang menjadi belakang layar mengapa istilah naas diperlawankan dengan jinnah, alasannya bangsa jin cenderung statis dan tidak berkembang kehidupannya. Wallahu a’lam.
Kelima, anam ( الأنام ). Menurut az-Zabidi dalam Tajul ‘Arus, bentuk dasarnya yaitu anama ( أنم ), dan ada yang menyatakan pula bahwa aslinya yaitu wanama ( ونم ), menjadi wanam ( ونام ), lalu diringankan menjadi anam ( أنام ), artinya: mengeluarkan bunyi dari dalam dirinya sendiri. Bangsa Arab menggunakan istilah ini untuk menunjuk semua makhluk yang ada di permukaan bumi, termasuk manusia. Di dalam Al-Qur’an, kata ini muncul sekali dalam surah ar-Rahman: 10, dan menurut para mufassir berarti bangsa jin ( الجن ) dan insan ( الإنس ) sekaligus. Jadi, istilah ini sesungguhnya tidak spesifik menunjuk pada insan saja.
Singkatnya, Al-Qur’an berusaha menjelaskan kepada kita misteri dan hakikat diri kita sendiri dengan menggambarkan sifat-sifat asasi yang sudah Yang Mahakuasa tanamkan. Dapat kita mengerti dari sini bahwa insan yaitu makhluk yang secara fisik berbeda tampilannya dengan hewan pada umumnya, dan ia bisa berbicara atau mengeluarkan bunyi dari dalam dirinya sendiri. Sedangkan menurut fitrahnya, insan digambarkan cenderung bersifat ramah, akrab, saling menolong, dinamis, terus bergerak, dan selalu memperbaiki diri, yang mana kualitas-kualitas inilah yang memungkinkan mereka untuk dibekali ilmu, bayan, akal, dan tamyiz yang membuat mereka cakap mengemban kekhilafahan, taklif, dan amanah-amanah lainnya di muka bumi. Wallahu a’lam.
Sumber:
The Concept of Education in Islam, episode dari pidato Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Konferensi Dunia Pertama perihal Pendidikan Muslim di Makkah, tahun 1977.
Maqal fil Insan Dirasah Qur’aniyah, Dr. ‘Aisyah ‘Abdurrahman Bintu Syathi’, Darul Ma’arif, Kairo, cet 2, 1993.
Lisanul ‘Arab, Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Dar Shadir, Beirut, cet. 1, t.t.
Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, ar-Raghib al-Ashfahani, Darul Ma’rifah, Beirut, t.t.; tahqiq: Muhammad Sayyid Kailani.
Tajul ‘Arus Min Jawahiril Qamus, Sayyid Murtadha al-Husaini az-Zabidi, Percetakan Negara Kuwait, 1385 H/1965 M; tahqiq: ‘Abdus Sattar Ahmad Faraj.