Loading...

085749607473 Jual Peci Kopiah Songkok Puasa yakni Pendidikan jasmani dan rohani



KEMANUSIAAN yang Rupa-rupa Warnanya 

Bolomaapu... saya tidak bermaksud memplesetkan Sila Ke-2 Pancasila, apalagi merendahkan, sama sekali tidak! Saya pikir, tak salah bila kita meminjam dekonstruksi Derrida. Maka  “rupa-rupa warnanya” akan terasa nikmat kita sematkan kepada kemanusiaan di zaman yang beyond to eden, sori...edan kayaknya lebih tepat.  
Mari kita mulai dengan idealisme dasi! Yaa... dasi. Dasi yang kerap dipakai para pejabat, dan eksekutif, dan belakangan mulai dikenakan para penjaja barang dari rumah ke rumah. Kita meng-adopsi dasi dari tradisi Barat, lantaran dipandang sebagai pakaian formal-terhormat. Mengapa? Sebenarnya disitu ada nilai! Saya tidak tahu apa disadari atau tidak. Dasi atau ber-dasi, sejatinya bukan hanya soal keindahan, tetapi juga bahwa di dalamnya terbenam filosofi; bahwa mengikat dasi yang benar, selain bentuknya segi tiga simetris, juga saat ditarik kedua ujungnya, maka dasi  mestinya terbuka menyerupai sediakala.
Apa maksudnya? Idealisme dasi sesungguhnya mengajari kita apalagi para pejabat, eksekutif, termasuk sarjana, magister, dan doktor yang diwisuda, atau siapapun yang terpaksa dan dipaksa mengenakan dasi. Mereka seharusnya bisa mengurai persoalan dirinya, dan tidak terkecuali persoalan orang-orang yang dihadapinya. Kalu begitu, sekarang kita perlu bertanya, sejauhmana peran pejabat-pejabat berdasi menyelesaikan persoalan kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan sosial-ekonomi-politik di bangsa ini?
Tunggu, filosofi dasi pun mengingatkan sesuatu yang mengerikan. Kesalahan mengikat dasi balasannya bisa mencekik diri sendiri. Jika tak percaya coba saja, silahkan! Bukankah salah kebijakan, salah memanfaatkan uang negara banyak menjerat para pejabat ke dalam terali besi? Apakah lantaran ini lalu Pak Jokowi, Presiden kita, jarang mengenakan dasi meski turun ke daerah-daerah? Saya tidak tahu! Dan, apakah gara-gara ini pula, Filsuf Nietzsche memproklamirkan gagasan nihilisme insan modern?, saya juga tidak tahu persis.    
Yang pasti, pemenang hadiah Nobel, Alexis Carrel di puncak risetnya ihwal manusia, akhirnya menyimpulkan, Man: The Unknown: Manusia yaitu makhluk misterius!
Manusia memang unik, misterius! Soal jasmani-badaniah, insan memang tak sehebat burung yang bisa terbang, tapi insan kemudian sanggup mengudara dan melintasi Benua, melebihi burung. Manusia tak sehebat ikan yang bisa berenang dan menyelam, tetapi kemudian, insan bisa menyelam dan melintasi samudra, lebih andal dari ikan. Manusia memang tak sekuat gajah, tapi insan kemudian sanggup meratakan gunung dan men-darat-kan lautan.
Sebaliknya, insan memang tak seganas singa, harimau ataupun buaya, yang dengan taringnya sanggup mencabik dan mengoyak-ngoyak mangsanya. Tapi, kenyataannya tak sedikit insan yang sanggup mencakar, menikam, membunuh, bahkan “memakan” sesamanya. Gigi insan memang tak sanggup mengerat menyerupai tikus, yang seenaiknya mengerat apa saja yang ia suka, membuat lubang di sana sini. Tapi, jangan salah, insan sanggup mengerat (baca: membobol) brandkas, lemari besi, bahkan menguras uang negara. Wajah dan tubuh insan memang tak bisa menyerupai bunglon, merubah warna tubuhnya mengikuti wadah yang ia tempati.  Tapi, insan ternyata bisa lebih andal dari itu. Di depan si Fulan, si pejabat atau si atasan, seseorang bisa melumuri wajah dengan senyuman manis, tubuh membungkuk-bungkuk, sembari menuturkan kata-kata pujian. Wow...rasa malu sebagai anugrah makhluk bermartabat pun dibuat sirna oleh harapan mengambil hati bahkan menjilat, meski tak jarang di belakang-belakang mencibir, menggunjing dengan segala sumpah serapah.      
Manusia, sekilas, memang tak sekeji syaitan yang terkutuk. Tapi boleh jadi insan bisa lebih keji. Syaitan, kendati kerjanya menggoda-menyesatkan manusia, tapi mereka sendiri bahwasanya tetap mengakui  bahwa Tuhan itu hanyalah Allah. Sementara insan tak sedikit yang mempertuhan uang, benda, dan kekuasaan.
Kini, peran dan tantangan kita kaum muslim untuk mengambarkan titah Allah: Sesungguhnya insan diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. Bulan Ramadhan yaitu bulan pendidikan dan latihan untuk itu. Puasa sangat penting dalam rangka mengembalikan insan ke dalam citra asal penciptaannya, fitrah. Hanya kesucian lahir-batinlah yang bisa menjadi obat untuk menyembuhkan banyak sekali penyakit hati, penyakit sosial yang kini lambat-laun menyebar bersama aliran darah, menggorogoti kemanusiaan, dan akhirnya menggeroti sekujur tubuh bangsa ini.
Paling tidak, dua kata kunci terdalam ibadah puasa yang bisa kita hadirkan di sini:  (1) dengan berpuasa karena mengharapkan Ridho-Nya, kita bisa mempraktekkan sepersekian dari sifat-sifat ketuhanan menyerupai rahman dan rahim-Nya dalamn kehidupan sehari-hari, dan (2) Tuhan akan terasa benar-benar hadir (omni present) dalam keseharian kita. Kedua kata kunci inilah sesungguhnya letak moralitas tertinggi yang diamanahkan puasa ramadhan.
Agaknya, hanya dengan cara inilah maka amanat sila ke-2 Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab bisa kita tumbuhsuburkan di negeri ini, Indonesia tercinta, semoga!.


PUASA,  Internet Spiritual? 
Abad ini, bukan lagi masa makan, minum, ber-pakaian, ber-rumah, bahkan ber-kenderaan an sich. Senikmat, seindah, dan senyaman apapun semua itu, tetap saja tidak cukup.  Maka “trilogi kebutuhan”: pangan-pandang-papan yang dulu begitu didambakan sebagai standar hidup layak bahkan terhormat, kini tak ayal lagi mesti direvisi.  Untuk soal ini, meski kita tergolong gemar dan lihai berdebat,  namun hampir bisa dipastikan kita akan bersepakat bahwa "internet" kian memaksa kita mengakuinya sebagai kebutuhan dasar. Tetapi, kalau Anda masih mau mendebat pernyataan ini, yaa silahkan. Tak jadi soal.  Yang pasti bahwa hanya diri sendirilah yang bisa mengaku secara diam-diam, apakah lebih banyak memanfaatkan sisi positif internet, atau sebaliknya sisi negatifnya.
Internet, entah ia sadari atau tidak, tengah memanggul “misi suci”: memfasilitasi kumandang Ilahi “lita’arafu” (konsep ‘saling kenal mengenal’ dalam al-hujurat – 13: Sesungguhnya Kami menciptakan kau dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku, biar kau saling kenal-mengenal...) Bukankah om Google, tante Youtube, bersama anak-anaknya: facebook, tweeter, instagram, dkk. hampir tak bisa lepas dari genggaman kita. Padahal, makan dan minum hanya sesekali kita pegang. Sayangnya memang, simpulan dari surah al-Hujurat-13: “... sesungguhnya yang paling mulia di antara kau di sisi Tuhan yaitu yang paling bertaqwa”  tidak bisa dijamin oleh Om Google, Tante Youtube, apalagi Facebook, tweeter, dan Instagram. Ah sudahlah!. Toh mereka sejatinya memang tak berakal, tak berhati, apalagi punya ruh Tuhan dalam diri mereka.

Ayo...lebih baik kita melirik puasa  sejenak
Mari kita mulai dengan pertanyaan, “mengapa anutan dan energi puasa tak bisa bertahan lama pasca ramadhan?”  Bagi  yang gemar dan lihai berdebat pasti siap memperdebatkan jawabannya. Silahkan! Di sini saya hanya mengurai jawaban yang sederhana. Karena kita terlanjur menerima taken for granted komentar-komentar bahwa puasa yaitu “menahan”: makan-minum, hawa nafsu, bergaul dengan istri/suami, pandangan, berkata-kata kotor atau tak bermanfaat. Yaa mana bisa. Jangan kaget, kelamaan di tahan pasti akan jebol juga. Hanya saja ada yang jebol dalam bulan ramadhan (puasa 3 hari, dll), dan sebagian lagi “jebol” pasca ‘idul fitri. Wah... bukankah “menahan” bahasa syariat?. Maaf, saya tidak merendahkan apalagi menolak syariat. Tidak. Sekali lagi tidak! Tetapi saya sependapat dengan Qamaruddin Hidayat bahwa semestinya kita lebih memaknai  puasa sebagai “mendidik” dari pada "menahan". Saya kira kira kita mudah mengurainya. silahkan. 

Lalu internet spiritual?
Pernah membaca  Esensi Puasa “Kajian Metafisika” karya KH. Bahaudin Mudhary?  Semasa S1 dulu (sekitar tahun 1993) saya sempat beli buku kecil itu di toko buku Otanaha, sekarang raib entah kemana. Buku kecil ini antara lain mengulas frekuensi setan, alasannya yaitu utama makhluk penyesat insan ini sukar dihindari.  Setan memiliki frekuensi dengan gelombang pendek 0,0.. sekian (sy lupa persisnya). Secara umum saya bisa mendapatkan argumentasi ini, alasannya yaitu saya tamatan STM jurusan elektronika.  Sederhananya begini: bagi yang dulu sempat mengenal radio, tentu masih ingat jenis-jenis gelombang radio Amplitudo Modulasi. Misalnya SW1-SW2-SW3 s/d SW10. SW itu abreviasi dari Short Wave. Semakin tinggi SW berarti semakin pendek gelombangnya, dan semakin jauh pula jarak tangkap frekuensinya. Maka tak heran, setan sanggup melintasi batasan ruang-ruang fisik material. Berlindung di manapun kita, setan bisa saja tetap bersama kita, memanas-manasi, dan endingnya menyesatkan! Bahkan menyesatkan kita dari Visi Tuhan, alasannya yaitu setan memang kian aktif bekerja mewujudkan  Visi Iblis. Yaaa.. Visi Tuhan versus Visi Iblis? Tahan dulu, soal ini nanti kita bahas tersendiri, insya Allah.     
Lalu apa hubungannya dengan puasa? Semakin khusu’ kita mendidik jasmani, panca indera, dan terutama hawa nafsu kita maka semakin berpengaruh pula pancaran spiritualitas kita bersua dengan sinar Ilahi, semakin tak berdaya pula setan, lantaran kehilangan daya rambat penyesatannya.  Ruh-ruh Tuhan  yang bersemayam dalam qolbu-qolbu insan pun kian bercahaya, memercikkan cahaya Keagungan Sang Pencipta.  Alhasil, level probabilitas komunikasi antar ruh menjadi sangat tinggi. kenikmatan dalam mengakses energi spiritual di semesta raya ini  terbuka luas, meski nanti tak persis sama dengan pengalaman spiritual Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Bustami, ataupun  Syekh Siti Djenar. Terasa sangat abstrak? Yaa pasti. Bukankah internet dalam genggaman kita juga tak kelihatan, kecuali hanya perangkat kerasnya (handphone)?. Seperti apakah wujud makhluk internet itu? Abstrak juga bukan.
Imam al-Ghazali lebih mempermudah soal ini. Hujjatul Islam ini membeberkan rahasia qolbu: bahwa wadah ruh Tuhan ini tak ubahnya cermin bening yang bisa menangkap dan menampilkan segala hal yang dihadapkan padanya. Hanya sayangnya qolbu ini telah tertimbun abu hawa nafsu, keserakahan, kebenci-dengkian, kesombongan. Maka, tak heran interkoneksi spiritualnya bukan hanya lowbat tetapi juga tak lagi memancarkan cahaya apalagi menangkap Nur Ilahi. So, mari kita manfaatkan puasa ini untuk mendidik jasmani, akal, dan terutama rohani kita. Semoga cermin qolbu kita bersinar kembali, dan kita sesama bisa ber-internet spiritual-ria, dengan Tuhan sekalipun.

lainnya 4544444346458342067

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Popular Posts